Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Budaya akan bertahan secara turun temurun apabila di dalamnya terjadi sistem pewarisan yang baik dan didukung oleh pewarisnya termasuk oleh lingkungan yang membangun kesenian tersebut. Yoety (1986:18) dalam bukunya menyatakan bahwa: “kesenian tradisional adalah kesenian yang sejak lama turun temurun hidup dan berkembang pada suatu daerah, masyarakat etnik tertentu yang perwujudannya mempunyai peranan tertentu dalam masyarakat pendukungnya”. Masyarakat pendukung dari sebuah kesenian mengambil peranan penting dalam pengembangan dan pewarisan budaya di daerah.
Batik tidak hanya berkembang di Jawa, namun juga ada di Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung dan tentunya memiliki ciri khas dan karakteristik yang berbeda-beda disetiap daerah, baik dari segi bentuk, dan motif. Kerajinan batik yang terdapat di Kota Padang, Sumatera Barat salah satunya yaitu batik tanah liek atau disebut juga dengan batik khas Minangkabau dengan keunikan tersendiri. Batik tanah liek merupakan jenis yang ada di Sumatera Barat selain tenun. Sejak 1995 pemerintah mencanangkan batik tanah liek sebagai batik khas Sumatera Barat. Sehingga sejak 1996 pemerintah Sumatera Barat membiayai sejumlah masyarakat khususnya perempuan kursus membatik hingga ke Solo dan Yogyakarta untuk belajar membatik. Sehingga bekal ilmu yang diperoleh dapat diaplikasikan kedalam bentuk batik yaitu Batik Tanah Liek khas Sumatera Barat.
Di Sumatera Barat ada banyak batik yang dikembangkan tidak hanya batik tanah liek tapi juga batik yang seperti dibuat di Jawa tapi menggunakan berbagai motif dari ukiran-ukiran khas Minangkabau maupun menggunakan motif yang terinspirasi dari naskah kuno Minangkabau. Batik Tanah Liek tersebar ke berbagai daerah di Sumatera Barat, salah satunya di Kota Padang.
Elvandri (2017:9) menyatakan bahwa munculnya sebuah bentuk kesenian tradisi di tengah masyarakat, mempunyai hubungan timbal balik antara kesenian sebagai produk budaya dan masyarakat sebagai pencipta produk budaya; karena masyarakat menjadi bagian dari aktivitas produk budaya tersebut, maka kesenian akan tetap dijalankan sesuai dengan fungsinya. Batik Tanah Liek dapat menunjukkan pewarisan budaya kerajinan batik yang menjadikan adanya hubungan timbal balik antara kesenian dan masyarakat.
Batik tanah liek merupakan kerajinan batik yang dibuat oleh perempuan-perempuan Minangkabau dari bekal ilmu dalam kegiatan kursus membatik di daerah Solo dan Yogyakarta. Proses pewarisan kebudayaan dilakukan secara tradisi lisan yakni dengan cara disampaikan dari mulut ke mulut, dengan cara melihat, mendengar dan menirukan apa yang dilakukan seorang guru kepada muridnya (Hermawan dalam Kusmaya, 2015: 122). Hal ini merupakan pewarisan kerajinan batik ke daerah Sumatera Barat dengan menggunakan motif khas Minangkabau. Daerah-daerah di Sumatera Barat, salah satunya di Kota Padang sudah mengembangkan Batik Tanah Liek dengan menggunakan ciri khas masing-masing. Maka dari itu, Batik Tanah Liek merupakan warisan budaya Minangkabau yang ada di Kota Padang.
Asal Usul Batik Tanah Liek
Umumnya batik terkenal dari daerah Jawa dengan berbagai macam motif dan warna. Tidak terlepas dari itu di daerah Sumatera seperti Bengkulu, Jambi dan Sumatera Barat juga mempunyai kain khas daerah masing-masing yang disebut Batik. Batik tersebut juga mempunyai ciri dan keunikannya masing-masing.
Batik di Sumatera Barat digunakan oleh perempuan dan laki-laki. Perempuan menggunakan batik tanah liek sebagai kain sandang yang di sandang di bahu yang diselempangkan di dada. Selain kain sandang penggunaan batik tanah liek juga digunakan sebagai lambak yaitu kain yang disarungkan sampai mata kaki (Thaib, 2014).
Sejarah batik di Sumatera Barat tidak diketahui kapan dimulainya. Herwandi (2016) menyatakan bahwa perkembangan batik yang ada di Sumatera Barat terbagi dari lima periode. Periode pertama Zaman Kerajaan Dharmasraya (13 M) ditandai dengan tinggalan arkeologis yang dijumpai pada patung amoghapasa di Dharamasraya yang mendapatkan kiriman patung dari raja Kertanegara ke Dharmasraya ketika terjadinya peristiwa Pamalayu tahun 1286. Pada periode kedua pada masa kerajaan Pagaruyung (16 M) batik diperkirakan sudah tumbuh dan berkembang dipusat kerajaan Pagaruyung. Batik juga didatangkan dari Jawa bahkan Cina. Seiring dengan kemunduran kerjaan Pagaruyung produksi batik juga mengalami pasang surut (Herwandi, 2016).
Periode ketiga pada zaman Belanda (sebelum kemerdekaan) blokade yang dilakukan Belanda di Sumatera Barat menghentikan pasokan kain batik dari Jawa. Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum Perang Dunia I, terutama batik-batik produksi Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta (Susantio, n.d.).
Pada periode keempat pada masa awal Indonesia merdeka dan periode kelima setelah Indonesia merdeka akhir abad ke-20. Setelah Indonesia merdeka industri batik banyak berkembang di Sumatera Barat ada beberapa orang yang menggiatkan industri batik. akibat blokade-blokade Belanda hubungan antara kedua pulau bertambah sulit. Semua ini. Maka pedagang-pedagang batik yang biasa berhubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri. Batik di Sumatera Barat kembali hidup pada periode ke lima tahun 1994 pada masa pemerintahan Hasan Basri Durin sebagai gubernur pada saat itu. Serta kebijakan pemerintah pusat yang saat itu di kuasai oleh Orde Baru (Chaniago, 2011).
Batik Tanah Liek dalam Pewarisan Seni Sebagai Benda Pakai di Kota Padang
Batik tanah liek merupakan batik khas Minangkabau yang saat ini masih berkembang di Kota Padang. Salah satu usaha batik tanah liek yang masih diproduksi di Kota Padang adalah Usaha Batik Citra Monalisa yang beralamat di Jalan Sawahan, Kelurahan Sawahan, Kecamatan Padang Timur. Usaha Batik Citra Monalisa berperan dalam menciptakan, mengembangkan dan mengenalkan kembali batik tanah liek yang dulu sempat hilang pada masa penjajahan Jepang. Hal ini merupakan pewarisan budaya yang dilakukan oleh pemilik Usaha Batik Citra Monalisa di Kota Padang dalam mengembangkan dan mengenalkan batik tanah liek ke generasi muda. Indrayuda (2012:1) menyatakan bahwa pewarisan ini bertujuan untuk keberlangsungan pertumbuhan dan perkembangan budaya seni tradisional dalam masyarakat, sehingga seni tradisional tersebut akan terus tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Batik Tanah Liek Citra Monalisa ini ikut melestarikan kembali batik Tanah Liek di Sumatera Barat yang hampir punah. Batik ini di perkenalkan kembali pada tahun 1994 oleh Wirda Hanim. Awalnya Wirda Hanim melihat batik ini digunakan oleh beberapa bundo kandung di Nagari Sumani, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Beliau tertarik dengan batik yang langka tersebut dan berniat untuk membangkitkan kembali seni kerajinan batik Tanah Liek yang hamper punah. Sebagaimana disampaikan Syahputra (2015 : 21) tentang konsep pewarisan budaya, bahwa komunitas kultural masa kini mewarisi kebudayaan nenek moyang secara turun temurun dan terus melestarikan sebagai kearifan bangsa.
Pada pembuatan desain motif dibuat sendiri oleh ibu Hj. Wirda Hanim sebagai pimpinan. Pembuatan motif batik diperoleh dari mencari dan meniru motif-motif dari kain batik tanah liek kuno yang ada di kampunya (Nagari Sumani, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat). Motif kuno tersebut adalah motif kuda laut dan burung hong. Wirda Hanim juga mengambil motif minang dari ukiran dan pakain, serta membuat motif yang baru dan mengembangkannya. Motif tersebut distilasi kembali supaya sesuai dengan kemungkinan untuk dijadikan motif batik, dengan kata lain perpaduan motif hias Minangkabau dengan motif stilasi Citra Monalisa diharapkan dapat menghasilkan batik yang unik.
Batik tanah liek Citra Monalisa masih melestarikan motif dari adat istiadat minang kabau, motifnya selau berkaitan dengan bentuk alam benda yang ada di daerah Sumatra Barat. Motif yang banyak diproduksi di batik tanah liek Citra Monalisa adalah motif rumah gadang, kabau padati, jam gadang, tabuik, kapal malin kundang, rangkiang,siriah gadang, kaluak paku, bunga melati, bungo rayo, dan burung hong. Motif batik tanah liek Citra Monalisa memiliki ragam hias naturalis dan dekoratif pada ornament utama, ornament pelengkap dan isen-isen.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan motif batik tanah liek Citra Monalisa sangat erat kaitanya dengan lingkungan sekitarnya berupa adat budaya daerah, fauna dan flora. Motif batik tanah liek di Citra Monalisa terdiri dari dua unsur yaitu ornamendan isen-isen. Ornamen dibedakan lagi atas ornamen utama dan ornamen pelengkap (pengisi bidang), namun ada sebagian motif batik yang tidak memiliki isen-isen.
Rosalena Aprizia
Mahasiswa Fakultas Pascasarjana Program Studi Pendidikan IPS
Konsentrasi Seni Budaya